Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Kamis, 22 April 2010

Sejarah Hukum Perburuhan(Ketenagakerjaan) Pasca Kemerdekaan RI


Politik peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965), hanya dapat dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan telah melihat kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan fisiknya untuk bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk menjalankan. Tidak pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian kesejahteraan termasuk di dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh pengusaha yang terlebih duhulu diproses pemerintah periode Orla.
Sebenarnya penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan oleh; pertama, pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama antara buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus jelas dan tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian kerja dimana buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah buruh yang bekerja pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja yaitu majikan, sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
Kedua, pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode ini, dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS (1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).

Ketiga, dalam kondisi politik-ekonomi mempengaruhi pendapatan buruh (1950-1965), sehingga ILO mendesak Indonesia untuk meratifikasi Konvensinya No.98 Tahun 1949 yang kemudian menjadi UU No.18 Tahun 1956 dalam masalah jamian dan perlindungan kaum buruh. Dengan kembali pemberlakukan UUD 1945 untuk kedua kalinya melalui Dektri Presiden 5 Juli 1959, masalah perburuhan secara umum dan masalah pengupahan secara khusus masih belum ada secara konkrit pengupahan buruh untuk memberikan perlindungan buruh yang datangnya dari pemerintah dan pengusaha. Bahkan periode ini telah memberikan peluang bagi partai komunis yang memanfaatkan kondisi buruh sektor pertanian sebagai alat propoganda untuk memojokkan perjuangan buruh, karena melahirkan "Demokrasi Terpimpin" termasuk terpimpin mengingat belum profesional kinerja segala bidang sehingga pengendalian harga melalui komando, dan ancaman-ancaman sanksi dari perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, misalnya undang-undang anti subversi, dan mahkamah-khusus untuk kejahatan-kejahatan ekonomi berjalan sesuai dengan kemauan pemerintah.
1. Pada Masa Orde Lama
Dalam merebut kemerdekaan Indonesia, gerakan buruh memainkan peranan yang penting. Peran baru dengan keterlibatannya dalam gerakan kemerdekaan nasional, melalui yang disebut dengan “ Lasykar Buruh, Kaum Buruh, dan Serikat Buruh di Indonesia”, aktif dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Sumbangan bagi keberhasilan mencapai kemerdekaan pada masa revolusi fisik ( 1945-1949 ), menjamin gerakan buruh tempat atau posisi yang baik setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Hal ini tampak khususnya dalam pembentukan kebijakan dan hukum perburuhan di Indonesia.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa pada masa awal kemerdekaan Indonesia ada beberapa peraturan hukum perburuhan yang bisa disebut progresif atau maju, dalam arti amat protektif atau melindungi kaum buruh.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 Tentang Keselamatan di Tempat Kerja diterbitkan oleh pemerintah sementara di bawah Sjahrir, Undang-undang ini member sinyal beralihnya kebijakan dasar perburuhan dari negara baru ini, yang mana sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau dipengaruhi perkembangan dasar dengan prinsip seperti “ no work no pay”.
Kemudian menyusul lagi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 Tentang Perlindungan Buruh dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan, undang-undang ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi buruh, seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, ketentuan 40 jam kerja dan 6 hari kerja seminggu, kewajiban perusahaan untuk menyediakan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak di bawah umur 14 tahun, termasuk juga menjamin hak perempuan untuk mengambil cuti haid 2 hari dalam sebulan dan cuti melahirkan 3 bulan.
Undang-undang ini bisa dikatakan paling maju di regional Asia pada waktu itu, yang kemudian menjadi dasar utama kebijakan legislasi hukum perburuhan di Indonesia yang prospektif.
Pada tahun 1950-an, masih dalam suasana gerakan buruh yang sedang dinamis, dihasilkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, disusul Undang-Undang Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan proteksi yang amat kuat kepada para buruh atau pekerja dengan kewajiban meminta ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
Sebelumnya sudah ada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan Majikan yang sungguh amat terasa nuansa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya, termasuk sebuah Undang-Undang tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO N0. 98 Tentang Hak Berorganisasi sekaligus menjamin lebih jauh lagi memberi serikat buruh status hukum.

2. Pada Masa Orde Baru
Pada Masa Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara menyeluruh.
Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu Pancasila.
Orde Baru diawali oleh peristiwa-peristiwa dramatis, khususnya pembantaian dan penghancuran elemen PKI tahun 1965, yang mengubah secara permanen konstelasi kekuatan politik dan berdampak secara mendalam atas nasib organisasi buruh. Pasca tahun 1965, posisi buruh lebih rendah daripada yang pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya.
Orde Baru memang mewarisi kondisi ekonomi yang porak-poranda. Karena itu, salah satu tugas utama yang diemban oleh Orde Baru di bawah komando Soeharto adalah menggerakkan kembali roda ekonomi. Tujuan pertumbuhan ekonomi merupakan faktor paling penting untuk menjelaskan kebijakan perburuhan Orde Baru.
Rejim Soeharto menerapkan strategi modernisasi difensif (defensive modernisation) dimana penguasa berusaha mengatur segalanya dan mengontrol organisasi buruh untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Disamping pendekatan ekonomis ini, pertimbangan-pertimbangan politik yang mendasarinya juga merupakan aspek yang penting dalam kebijakan-kebijakan perburuhan pada masa Orde Baru.
Agenda utama rejim Orde Baru yang didominasi oleh militer adalah mencegah kebangkitan kembali gerakan berbasis massa yang cenderung radikal, seperti gerakan buruh yang terlihat selama Orde Lama. Jadi, motif utama Orde Baru sejak awal adalah kontrol terhadap semua jenis organisasi yang berbasis massa, entah partai politik maupun serikat buruh yang dianggap penyebab kerapuhan dan kehancuran Orde Lama.
Meskipun stabilitas diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, kontrol politik penguasa terhadap buruh terutama dimaksudkan untuk menghapuskan pengaruh aliran Kiri dari gerakan buruh dan arena politik secara luas. Ciri utama akomodasi buruh-majikan-negara selama Orde Baru adalah kontrol negara yang sangat kuat atas organisasi buruh dan pengingkaran terus-menerus kelas buruh sebagai kekuatan sosial.
Kondisi perburuhan di Indonesia selama Orde Baru dapat dijelaskan dalam terang model akomodasi di atas. Kontrol negara terhadap serikat buruh berlangsung terus-menerus dengan dukungan militer. Kontrol itu mengalami penguatan signifikan sejak dekade 1980 bersamaan dengan berakhirnya era boom minyak dan pemerintah harus mengarahkan industri ke orientasi ekspor. Peraturan tentang ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi pada masa ini adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 yang kental dengan militerisme.
Pada periode ini, pendekatan militeristik atas bidang perburuhan menjadi semakin kuat dengan diangkatnya Laksamana Soedomo menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salah satu contoh paling tragis pengendalian buruh yang militeristik adalah kasus Marsinah yang hingga kini masih menjadi misteri.
Selain sebagai alat kontrol di tangan rejim orde baru untuk meredam gerakan massa buruh yang kuat, militer juga telah menjadi pelaku utama dalam bisnis sejak tahun 1958, suatu peran yang hingga saat ini dipertahankannya. James Castle menilai bahwa hubungan industrial selama 30 tahun di bawah Orde Baru ditandai oleh kontrol pusat yang otoriter, saling curiga, dan bahkan kebrutalan.
Seperti yang kita ketahui, Hukum perburuhan adalah perjuangan politis untuk menegaskan bahwa paham liberalisme dengan doktrin laissez-faire tidak dapat diterapkan secara mutlak. Dari sini sebenarnya sudah terlihat bahwa hukum perburuhan senantiasa dalam bahaya intrusi paham liberalisme yang menganggap hukum perburuhan sebagai intervensi atau diskriminasi yang melemahkan perekonomian karena melanggar doktrin laissez-faire.
Bahaya intrusi ini semakin besar lagi jika hubungan antara majikan dan buruh dipahami semata-mata atau terutama merupakan hubungan hukum, jika pemerintah atau siapapun berpikir bahwa cara terbaik "membina" atau "mendisplinkan" buruh dan majikan adalah melalui hukum.
Hukum modern mengharuskan struktur, format dan prosedur yang kaku (rigid). Ia menuntut birokrasi dan cara berpikir yang khas. Dibutuhkan orang dengan pendidikan khusus untuk mengetahui seluk beluk hukum modern. Hukum menjadi wilayah esoterik yang tidak bisa ditangani oleh sembarang orang. Para ahli/sarjana hukum dan pengacara saja yang bisa bermain dengan hukum.
Dalam alam hukum modern, sering terjadi bahwa formalitas dan prosedur dapat menghilangkan keadilan yang substansial. Hukum perburuhan tidak bisa lepas dari kepungan logika dasar hukum modern yang formalistik dan individualistik itu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pada masa ini Hukum Perburuhan tidak dapat dengan efektif digunakan karena pada masa ini hukum berada di bawah intervensi pemerintah yang memerintah secara Diktator.

3. Pada Masa Reformasi
Sejak berakhirnya masa Orde Baru, peluang untuk lahirnya gerakan buruh dimulai dengan dibukanya kebebasan berserikat meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah.
Pada masa ini SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997.
Pada masa ini telah dapat dipastikan bahwa LSM memegang peranan penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh . Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Dua belas LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan Undang-Undang tersebut ditandai dengan keluarnya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa Undang-Undang itu harus ditolak.
Dalam pandangan KPHP Undang-Undang tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan bebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 ini juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh.
Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun Undang-Undang untuk mengatur perburuhan kembali ke Undang-Undang lama sebelum akhirnya dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

4. Pada Masa Sekarang
Perkembangan hukum perburuhan ditandai oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
4. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negri.
  • Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan diundangkannya UU ini maka sistem keserikatburuhan di Indonesia berubah dari single union system menjadi multi union system. Hal ini disebabkan menurut menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya 10 orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja melalui serikat pekerja/serikat buruh, buruh diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif.
  • UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU No. 13/2003 ini juga mengandung banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.
2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003 Pemerintah melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia.
  • UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial meskipun sampai saat ini masih belum diberlakukan namun melalui kajian yuridis-normatif dapat dikemukakan bahwa UU No.2/2004 masih mengandung banyak kelemahan yang mengakibatkan proses Penyelesaian Perselisihan Industrial yang lama dan ini berarti mahal. Hal ini antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. UU ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh UU ini. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase. Menurut UU ini, pengadilan hubunganindustrial diberi kewenangan untukmenyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksudkan oleh UU ini yaitu: perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sedangkan pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution. Menurut UU ini, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya melalui arbitrase. Mereka harus menempuh jalur pengadilan hubungan industrial. Padahal 99, 9 % perselisihan perburuhan adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan demikian 99,9 % dari ribuan kasus perburuhan akan diselesaikan melalui jalur pengadailan hubungan industrial dan akan bermuara di Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus perburuhan yang jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya? Pertanyaa serupa juga dapat dikemukakan disini kepada Mahkamah Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang ditawarkan UU ini akan jauh dari kenyataan.
2. Dengan dicabutnya pasal 158 tentang Kesalahan Terberat untuk kasus pemutusan hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam UU No.13/2003 juga akan memperlama proses penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan pengadilan hubungan industrial baru dapat memproses kasus tersebut terutama dengan alasan pencurian, penggelapan atau penganiayaan setelah kasus tersebut mendapatkan keputusan yang mengingat dari pengadilan pidana.
  • UU No.39/2004 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negri juga masih memposisikan TKI sebagai ekspor komoditi, bukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya. Hal ini terjadikarena UU ini belum menciptakan sistem penempatan TKI ke Luar Negri yang berpihak kepada Tki sebagaimana terurai di bawah ini:
1. Perusahan penempatan TKI yang pada dasarnya business-oriented diberi kewenangan untuk merektut, menampung, melatih dan sekaligus menempatkan TKI, melindungi TKI selama masa pra penempatan, pada masa penempatan dan pasca penempatan. Pembebanan tanggung jawab yang sangat berat ini tidak dapat dibebankan kepada perusahaan penempatan TKI yang business-oriented. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penempatan TKI yang tidak selektif. Penempatan TKI yang tidak selektif ini akan merupakan akar permasalahan terjadinya penganiayaan, pelecehan seksual, tidak dibayar upahnya, penipuan, pemerasan dan lain-lain akan merupakan persoalan laten yang akan berulang kembali pada masa mendatang.
2. Tidak adanya ketentuan yang melarang kegiatan penempatan TKI secara ilegal serta tidak adanya ketentuan yang melarang pejabat Depnaker, deplu dan Depkumham termasuk saudara-saudaranya yang menurut garis keturunan menyamping atau kebawah akan menimbulkan persoalan TKI sebagaimana tersebut di atas.
Indonesia yang tahap pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap industrialiasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan), kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan. Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekkonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi pemilik modal.
Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh berjalan bersamaan. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan, sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dari kedua belah pihak. Dengan demikian tren hukum perburuhan saat ini akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.













Kesimpulan

Sejarah hukum perburuhan pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia tidak terlepas dengan perkembangan hukum perburuhan pada masa kolonial. Sikap semena-mena yang dilakukan kolonial melahirkan beberapa Serikat Buruh yang peranannya sangat besar dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia sehingga tidak heran jika pasca kemerdekaan lahir beberapa peraturan yang isinya melindungi para buruh.
Hal yang sama masih tampak pada Rezim kepemimpinan Soeharto hingga ia memimpin negara ini dengan kediktatorannya yang menyebabkan Hukum berada di bawah pemerintahan sehingga masalah perburuhan ini sepenuhnya berdasarkan keinginan penguasa.
Pada masa Reformasi, Hukum Perburuhan mengalami Transisi yang cukup besar. Melalui kebebasan dalam berserikat, para buruh melalui perwakilannya dalam Serikat Buruh melakukan kerja sama dengan pemerintah dalam menyusun peraturan-peraturan yang menyangkut ketenagakerjaan. Dan hukum perburuhan tidak lagi berbau militerisme.
Pada masa sekarang ini, antara buruh dengan pengusaha terjadi tarik-menarik kepentingan. Hal ini dapat dilihat dari UU no 13 Tahun 2003, dimana Pengusaha akan berusaha untuk tetap mempertahankan ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan outsourcing, di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian Kerja Waktu tertentu dan outsourcing dihapuskan. Sedangkan pihak pemerintah cenderung untuk memihak para pelaku bisnis karena Pemerintah menghadapi persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk mengatasi masalah pengangguran.
sunting

Tidak ada komentar:

Posting Komentar