Daftar Blog Saya

Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Mei 2012

HUKUM PIDANA ADAT


DILEMA PENERAPAN HUKUM PIDANA ADAT
(ANTARA ADA dan TIADA)
IMAM SAYUTI (07400049)[1]

A.     PENDAHULUAN

Tentunya ungkapan “ubi ius ibi societas” tidak asing lagi didengar ataupun di ungkapkan dikalangan akademisi, mahasiswa ataupun pegiat-pegiat hukum. Ungkapan yang disampaikan oleh filsuf Yunani yang bernama Cicero ini jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum”, ungkapan sederhana ini menjelaskan bahwa hukum akan tercipta dengan sendirinya ditengah-tengah masyarakat dan selalu hadir dengan dinamika-dinamika baru yang mengitu perkembangan sosial masyarakatnya.
Setiap masyarakat atau setiap kelompok membutuhkan cara tertentu untuk menyelesaikan sengketa dan menegakkan norma-norma yang tumbuh ditengah masyarakat, kemungkinan setiap masyarakat membutuhkan mekanisme untuk mengubah norma-norma dan menerapkannya pada situasi-situasi baru.[2] Tentunya mekanisme penyelesaian sengketa dan penegakkan norma-norma yang tumbuh ditengah masyarakat tersebut menjadi sumber dan landasan yang tidak kaku. Hukum yang berkembang ditengah masyraakat yang hari ini kita kenal dengan istilah hukum adat merupakan nilai-nilai yang sejak lama yang sejak lama diakui sebagai norma.
  Nilai – nilai ataupun norma-norma tersebut sudah lama tumbuh ditengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia, bangsa yang masyarakatnya memiliki keanekaragaman suku, ras, agama dan adat yang menyebar di wilayah nusantara. Tersebarnya keanekaragaman tersebut tumbuh nilai-nilai ataupun norma-norma yang diakui di masing-masing wilayah yang mempunyai hukum adat. Diakuinya hukum adat tersebut sudah menjadi suatu hal yang otomatis cara penyelesaiannyapun secara adat

Kamis, 22 April 2010

EKSITENSI SATGAS PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DI TENGAH MARAKNYA MAFIA HUKUM / MARKUS (MAKELAR KASUS)


Kehadiran Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto dalam pentas politik tanah air secara umum disambut dengan cibiran bernada pesimis. Sekali lagi, Presiden SBY yang sejak pemerintahannya yang pertama dikenal publik tanah air dengan hobinya membuat komisi X dan unit Y, menghiasi 100 hari periode kedua pemerintahannya dengan menelorkan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.Satgas ini mengemban tugas berat, yaitu membangun koordinasi, evaluasi, dan koreksi terhadap mekanisme penegakan hukum serta kinerja aparat hukum Indonesia. Tentu saja, Polri, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, MA, MK, KPK, serta lembaga-lembaga tinggi negara yang lain menjadi sasaran Satgas ini.

Mengguritanya mafia dalam tubuh aparat dan lembaga penegak hukum Indonesia menjadi ladar persemaian subur lahir dan tumbuhnya ‘markus-markus’ (makelar kasus) dengan beragam latar belakang seperti pengusaha, wartawan, bahkan aparat hukum itu sendiri. Tidak berlebihan apabila ada yang menyebut Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sebagai Satgas Anti Markus.Di mata publik, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum merupakan bentuk pengakuan Presiden SBY terhadap carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkaran pemerintah pusat, karena faktanya Satgas ini tidak memiliki struktur hingga ke daerah. Padahal publik tanah air, tentu saja sangat memahami bahwa karut-marut penegakan hukum tidak hanya terjadi di tingkat pusat tetapi juga marak di lingkungan pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II.

Sejarah Hukum Perburuhan(Ketenagakerjaan) Pasca Kemerdekaan RI


Politik peburuhan setelah kemerdekaan Indonesia 1945 (periode 1945-1965), hanya dapat dilihat dalam konstitusi tertulis (UUD 1945 Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3). Periode sesudah kemerdekaan, pemerintah Orde Lama (Orla) dan telah melihat kaum buruh hanya diperuntukkan untuk kepentingan kebutuhan fisiknya untuk bekerja pada pabrik yang dipergunakan untuk pemakaian untuk menjalankan. Tidak pernah diperhatikan hak hakikinya yaitu pemberian kesejahteraan termasuk di dalamnya masalah upah kerja yang diberikan oleh pengusaha yang terlebih duhulu diproses pemerintah periode Orla.
Sebenarnya penyebab terjadinya gonjang ganjing hukum perburuhan disebabkan oleh; pertama, pengaruh politik hukum perburuhan, karena pemahaman kesepakatan bersama antara buruh dengan majikan yang melahirkan perjanjian perburuhan baik yang dilakukan secara individu maupun secara kolektif. Elemen perjanjian kerja harus jelas dan tegas antara perjanjian kerja hanya waktu tertentu, dan perjanjian kerja dimana buruh bekerja dibawah kemauan majikan. Asumsi yang terjadi adalah buruh yang bekerja pada perusahaan hanya bekerja dibawah kemauan memberi kerja yaitu majikan, sehingga majikanlah yang menentukan upah buruhnya.
Kedua, pemogokan buruh menuntut perbaikan penghasilan (1945-1949) pada periode ini, dimana masalah perburuhan memang kurang mendapat perhatian, karena pihak pemerintah pada waktu itu, masih bergulat masalah politik. Pada pemerintahan RIS (1949-1950), merupakan pergolakan politik yang merobah sistem perburuhan tentunya juga otomatis perubahan sistem pengaturan buruh. Periode UUDS (1950-1950) melakukan pemogokan besara-besaran (950.000 buruh didukung oleh SBSI, KABM, SBPU, SBPI SBKA).

Minggu, 10 Februari 2008

Perbedaan Mafia di Luar negri dan Mafia di Indonesia


Mafia,itulah kata yang tidak asing baik dalam dan luar negri..Mafia atau La Cosa Nostra (bahasa Italia: Hal Kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di Sisilia dan Amerika Serikat. Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi yang orang-orang di Sisilia masuki pada Abad Pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan hukum sendiri (main hakim). Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan terorganisir.Anggota Mafia disebut "mafioso", yang berarti "PRIA TERHORMAT"