DILEMA PENERAPAN HUKUM
PIDANA ADAT
(ANTARA
ADA dan TIADA)
IMAM
SAYUTI (07400049)[1]
A.
PENDAHULUAN
Tentunya ungkapan “ubi ius ibi societas” tidak asing lagi didengar ataupun di
ungkapkan dikalangan akademisi, mahasiswa ataupun pegiat-pegiat hukum. Ungkapan
yang disampaikan oleh filsuf Yunani yang bernama Cicero ini jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia berarti “dimana ada masyarakat maka disitu ada hukum”,
ungkapan sederhana ini menjelaskan bahwa hukum akan tercipta dengan sendirinya
ditengah-tengah masyarakat dan selalu hadir dengan dinamika-dinamika baru yang
mengitu perkembangan sosial masyarakatnya.
Setiap masyarakat atau setiap
kelompok membutuhkan cara tertentu untuk menyelesaikan sengketa dan menegakkan
norma-norma yang tumbuh ditengah masyarakat, kemungkinan setiap masyarakat
membutuhkan mekanisme untuk mengubah norma-norma dan menerapkannya pada
situasi-situasi baru.[2]
Tentunya mekanisme penyelesaian sengketa dan penegakkan norma-norma yang tumbuh
ditengah masyarakat tersebut menjadi sumber dan landasan yang tidak kaku. Hukum
yang berkembang ditengah masyraakat yang hari ini kita kenal dengan istilah
hukum adat merupakan nilai-nilai yang sejak lama yang sejak lama diakui sebagai
norma.
Nilai –
nilai ataupun norma-norma tersebut sudah lama tumbuh ditengah-tengah masyarakat
bangsa Indonesia, bangsa yang masyarakatnya memiliki keanekaragaman suku, ras,
agama dan adat yang menyebar di wilayah nusantara. Tersebarnya keanekaragaman
tersebut tumbuh nilai-nilai ataupun norma-norma yang diakui di masing-masing wilayah
yang mempunyai hukum adat. Diakuinya hukum adat tersebut sudah menjadi suatu
hal yang otomatis cara penyelesaiannyapun secara adat
.
.
Berdasarkan
kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan Hukum Nasional pada tahun
1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum
Adat diartikan sebagai, “hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam
bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur
agama.” Salah satu bentuk pengakuan hukum seperti ini harusya menjadi suatu
hal yang konsisten ditegakan dan dijaga eksistensinya.
Eksistensi
berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum nasional juga diatur
instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan bahwa, “Nothing in this
article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or
omission which, at the time when it was committed, was criminal according to
the general principles of law recognized by the community of nations”.
Kemudian rekomendasi dari Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang “The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dinyatakan bahwa sistem
hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang
berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada umumnya bersifat “obsolete
and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal” (sudah
ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan). Alasannya karena sistem
hukum di beberapa negara tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
“diskrepansi” dengan aspirasi masyarakat, serta tidak responsif terhadap
kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh konggres PBB dinyatakan
sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan.
Terminologi
hukum pidana adat, delik adat,
hukum pelanggaran adat atau hukum
pidana adat cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat.
Apabila dikaji dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik
sumber tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan
kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan
turun temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya
dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada
masa Raja Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya
di Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab
Lontara “ade” di Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan Awig-Awig
di Bali, dan lain sebagainya. Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana
adat adalah semua peraturan yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit
atau bahan lainnya.[3]
Pada
tulisan ini penulis tidak akan banyak membahas bagaimana latar belakang
hadirnya hukum pidana di Indonesia, karena hal di atas bisa menjadi
representasi eksistensi hukum pidana di Indonesia. Langsung pada substansi
pembahasan, tulisan ini akan sedikit menguraikan bagaimana eksistensi hukum
pidana adat di Indonesia dan bagaimana praktek, serta Reformasi hukum pidana
adat di Indonesia.
B.
PEMBAHASAN
Dikaji
dari perspektif normatif, teoretis, asas dan praktik dimensi dasar hukum dan
eksistensi keberlakukan hukum pidana adat bertitik tolak berdasarkan ketentuan
Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 (LN 1951 Nomor
9). Pada ketentuan sebagaimana tersebut di atas disebutkan, bahwa:
“Hukum materiil sipil dan untuk
sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk
kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan
Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu dengan pengertian bahwa
suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana,
akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud
dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan terhukum, bahwa bilamana
hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan
hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa
dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian
bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman
senantiasa diganti seperti tersebut di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut
hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana yang ada bandingnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana
tersebut”.
Ada 3 (tiga) konklusi dasar dari
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Pertama,
bahwa tindak pidana adat yang tiada bandingan atau padanan dalam KUHP dimana
sifatnya tidak berat atau dianggap tindak pidana adat yang ringan ancaman
pidananya adalah pidana penjara dengan ancaman paling lama tiga bulan dan/atau
denda sebanyak lima ratus rupiah (setara dengan kejahatan riangan), minimumnya
sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 12 KUHP yaitu 1 (satu) hari untuk
pidana penjara dan pidana denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30
KUHP. Akan tetapi, untuk tindak pidana adat yang berat ancaman pidana paling
lama 10 (spuluh) tahun, sebagai pengganti dari hukuman adat yang tidak dijalani
oleh terdakwa. Kedua, tindak pidana adat yang ada bandingnya
dalam KUHP maka ancaman pidananya sama dengan ancaman pidana yang ada dalam
KUHP seperti misalnya tindak pidana adat Drati Kerama di Bali
atau Mapangaddi (Bugis) Zina (Makasar) yang
sebanding dengan tindak pidana zinah sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP. Ketiga,
sanksi adat sebagaimana ketentuan konteks di atas dapat dijadikan
pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup (living law) dianggap
sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP sedangkan tindak pidana
yang ada bandingnya dalam KUHP harus dijatuhkan sanksi sesuai dengan ketentuan
KUHP.[4]
Selain
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 maka
dasar hukum berlakunya hukum pidana adat juga mengacu ketentuan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun
implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakan dasar eksistensi hukum pidana adat.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menentukan bahwa, “Hakim
dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, kemudian ketentuan Pasal 10
ayat (1) menyebutkan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”,
berikutnya ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, “”Putusan pengadilan
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Kemudian dalam prakteknya Mahkamah Agung Republik Indonesia
telah mengeluarkan beberapa Yurisprudensi mengenai Hukum Pidana adat di
Indonesia, beberapa Yurisprudensi MA RI tersebut akan dikutip dan dituangkan
dalam tulisan.
1. Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985
Pada
dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari
1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Luwuk
Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9
April 1984. Pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili
perkara hubungan kelamin di luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri
hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah
Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b
UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang unsur-unsurnya:
Unsur
pertama suatu
perbuatan yang melanggar hukum yang hidup.
Unsur Kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak
ada bandingannya dalam KUH Pidana.
Unsur Ketiga perbuatan pelanggaran tersebut masih
tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang yang bersangkutan.
Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor
27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan
oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang
mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup
dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang
melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai
delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim
memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi
tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil.
Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan
oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan
dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi
rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak
pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh
dengan seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung
melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari
1985 maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi
dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang
dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.
Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23
Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan
oleh terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi)
dan hakim yudex yuris (Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman
bagi terdakwa melalui sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana
yang dijatuhkan oleh hakim bukan merupakan hukuman pengganti.
Terhadap putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat menyebutkan
sampai sekarang pun masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum
pidana adat atau menganggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa
hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum
perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain.
Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur
penyelesaian perkara-perkara pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para
fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret,
baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.
Hal ini semata-mata dilakukan untuk menetapkan hukum (verklaring van recht) berupa
sanksi adat (adatreactie) yang dianggap dapat membetulkan hukum adat
yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan oleh si pelanggar
dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak yang terkena akibat pelanggaran
tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang adat kepada pihak yang terkena
dan/atau masyarakat.
Terakhir, bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya
dan keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula
dalam hal berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan
tabu (Pemali: Jawa) dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah
resmi menjadi suami istri atau dalam sebuah ikatan rumah tangga. Dalam
perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang hidup dengan tidak
mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur budaya dan
keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.
2. Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991
Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988
tanggal 15 Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan
Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra
tanggal 11 Nopember 1987.
Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl
tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan
susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatan
tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara adat. Kemudian
kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga
Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat “Prohala”
yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci.
Perbuatan tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku.
Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya
diserahkan kepada pihak Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara
tersebut dilimpahkan ke pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa
dengan dakwaan telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar
Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281
ayat (1) ke-1e KUH Pidana dan dakwaan lebih subsidair lagi melanggar
Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.
Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl
tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat “memperkosa” sebagaimana
dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi putusan
sebagai berikut:
Ø
Bahwa
hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak pledooi terdakwa yang mengemukakan
bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat “Prohala” oleh kepala adat dan pemuka
adat sehingga dengan diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUH Pidana di
Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang
sama (ne bis in idem).
Ø
Bahwa
penolakan tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman ditetapkan badan peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi
yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.
Ø
Bahwa
hakim menilai unsur dakwaan dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal
285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH
Pidana tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi melanggar
Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana
dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka perbuatan itu dianggap diancam
dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip
perbuatan pidana itu.
Kemudian atas Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl
tanggal 15 Juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan banding tersebut maka Putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11
Nopember 1987 pada dasarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan
sekedar memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman karena
bersalah melakukan “perbuatan pidana adat Siri” dengan ratio decidendi
putusan sebagai berikut:
Ø
Perbuatan
terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki adalah
merupakan perbuatan yang sangat tercela yang menimbulkan “Siri” dan harus
dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang dipermalukan (Tomasiri) dapat
mengakibatkan korban jiwa (Siri Ripoamateng/Siri dipomate).
Ø
Delik
adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri Ripoamateng/Siri
dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan merendahkan
martabat keluarga perempuan.
Ø
Bahwa
perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada
bandingannya di dalam KUH Pidana dan oleh karena itu menurut hakim banding
terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951.
Atas
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra
tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988
tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah
memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah
menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah
Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah
Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Ø
Bahwa
terdakwa yang oleh Kepala Adat harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain
kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman
adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani terdakwa.
Ø
Bahwa
hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut
ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa
tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
Ø
Berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut
dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak
dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Konklusi
dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah
Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati
putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para
pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan
mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara
memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951
jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat
dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap
pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh
mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun
1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
C. PENUTUP
Peranan Hukum pidana adat sebagai hukum tidak
tertulis adalah sebagai pembaharuan hukum di bangsa ini. Nilai-nilai hukum
pidana adat yang tidak terkoodifikasi akan selalu hidup ditengah-ditengah
masyarakat. Norma-norma yang sakral dan diakui masyarakat ini harapannya bisa
di harmonisasi oleh lembaga negara agar bisa menjadi hukum positif yang bisa
menjadi payung utuk mencapai cita-cita bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar